JUDI PATOLOGIS
By. Andy Wasono
Perjudian merupakan salah satu bentuk
penyakit masyarakat Indonesia yang ada saat ini, bahkan perjudian disinyalir
telah menyentuh hampir di berbagai lapisan masyarakat. Meskipun perjudian
merupakan kegiatan terlarang dan dapat dikenai sangsi, namun pada kenyataannya
perjudian ini sangat sulit diberantas. Hal ini berkaitan dengan mental
masyarakat untuk mengejar materi dengan cara cepat dan mudah. Adanya
kondisi keadaan perekonomian masyarakat yang cenderung semakin sulit, sangat
memprihatinkan dan menyulitkan masyarakat akibat kurangnya lapangan kerja,
serta rendahnya tingkat penghasilan masyarakat merupakan beban yang dialami
sebagian besar masyarakat saat ini. Berbagai hal tersebut menyebabkan mereka
berusaha untuk menutupi kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Berbagai cara ditempuh baik yang sah atau legal menurut hukum. Bagi sebagian
anggota masyarakat jalan yang tidak menurut hukum terpaksa ditempuh karena hal
itu merupakan pilihan terbaik menurut mereka. Salah satu jalan yang menurut
hukum sangat bertentangan dengan aturan yang ada adalah dengan melakukan
perjudian. Tindakan berjudi ini dilakukan dengan harapan kalau menang dapat
menutupi kebutuhan hidup mereka.
Menurut Kartini Kartono dalam bukunya yang berjudul
patologi sosial, perilaku perjudian merupakan pertaruhan dengan sengaja yaitu
mempertaruhkan suatu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari
adanya resiko dan harapan-harapan tertentu dalam peristiwa-peristiwa permainan,
pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak atau belum pasti
hasilnya. Selanjutnya dalam kamus Webster, perjudian (gambling) didefinisikan
sebagai suatu kegiatan yang melibatkan elemen risiko. Risiko didefinisikan
sebagai kemungkinan terjadinya suatu kerugian. Selain itu, perjudian dalam buku
Abnormal Psychology and
Modern Life (Carson dan Butcher, 1992) mendefinisikan perjudian
sebagai tindakan yang berusaha memasang taruhan atas suatu permainan atau
kejadian tertentu dengan harapan memperoleh suatu hasil atau keuntungan yang
besar. Apa yang dipertaruhkan dapat saja berupa uang, barang berharga, makanan,
dan lain-lain yang dianggap memiliki nilai tinggi dalam suatu komunitas.
Definisi serupa dikemukakan oleh Stephen Lea, et al
(1987) dalam buku The Individual
in the Economy, A Textbook of Economic Psychology seperti yang
dikutip oleh Papu (2002). Menurut mereka perjudian adalah suatu kondisi dimana
terdapat potensi kehilangan sesuatu yang berharga atau segala hal yang
mengandung risiko. Namun demikian, perbuatan mengambil risiko dalam perilaku
berjudi, perlu dibedakan pengertiannya dari perbuatan lain yang juga mengandung
risiko. Ketiga unsur dibawah ini mungkin dapat menjadi faktor yang membedakan
perilaku berjudi dengan perilaku lain yang juga mengandung risiko:
a.
Perjudian
adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan sejumlah uang (atau sesuatu yang
berharga) dimana pemenang memperoleh uang dan imbalan lainnya yang dianggap
berharga.
b.
Risiko
yang diambil bergantung pada kejadian-kejadian di masa mendatang, dengan hasil
yang tidak diketahui, dan banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat
kebetulan atau keberuntungan.
c. Risiko yang diambil bukanlah suatu
yang harus dilakukan, kekalahan atau kehilangan dapat dihindari dengan tidak
ambil bagian dalam permainan judi.
Dari beberapa definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa perjudian adalah perilaku yang melibatkan adanya risiko
kehilangan sesuatu yang berharga dan melibatkan interaksi sosial serta adanya
unsur kebebasan untuk memilih apakah akan mengambil risiko kehilangan tersebut
atau tidak.
Perjudian menjadi salah
satu pilihan yang dianggap sangat menjanjikan keuntungan tanpa harus bersusah
payah bekerja. Perjudian dianggap sebagai pilihan yang tepat sebagian
masyarakat untuk mencari uang dengan lebih cepat dan mudah. Dan mereka kurang
menyadari bahwa akibat judi jauh lebih berbahaya dan merugikan dari keuntungan
yang akan diperolehnya dan yang sangat jarang dapat diperolehnya.
Karena pada dasarnya perjudian sangat membahayakan
bagi penghidupan dan kehidupan pribadi maupun keluarga (dalam skala kecil)
serta pada masyarakat, bangsa dan negara (dalam skala yang lebih besar). Pada
hakekatnya, perjudian adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma, moral,
kesusilaan maupun hukum. Dari sudut pandang agama manapun, perilaku perjudian
sangat tidak dibenarkan. Hal ini karena, perilaku berjudi pada umumnya tidak
akan mendatangkan manfaat bagi individu yang melakukannya dan bahkan hanya akan
mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan yang lebih berat lagi. Perjudian juga
bisa menimbulkan kerugian kepada pihak yang melakukannya, meski memang kadang
memberikan keuntungan. Tetapi keuntungan yang didapatkan atas suatu perjudian
tidak bisa dijadikan alasan pembenar sehingga menghalalkan untuk melakukan
perjudian.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 303 ayat (3) KUHP menyebutkan
bahwa :
“Yang
dimaksud dengan permainan judi adalah tiap-tiap permainan, dimana kemungkinan
untuk menang pada umumnya bergantung pada peruntungan belaka, juga karena
pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Dalam pengertian permainan judi
termasuk juga segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan
lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain,
demikian juga segaa pertaruhan lainnya.”
Perjudian dalam perspektif hukum adalah salah
satu tindak pidana (delict) yang
meresahkan masyarakat. Sehubungan dengan itu, dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974
tentang Penertiban Perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian
sebagai kejahatan. Ancaman pidana perjudian sebenarnya cukup berat, yaitu
dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda
sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,00 (Dua puluh lima juta rupiah). Walaupun perjudian dilarang dan diancam dengan
hukuman, namun kenyataannya masih banyak masyarakat Indonesia yang
melakukannya. Hal itu antara lain karena manusia mempunyai kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi, sedangkan di sisi lain tidak setiap orang dapat memenuhi hal
itu karena berbagai sebab misalnya karena tidak mempunyai pekerjaan atau
mempunyai penghasilan lain untuk memenuhi kebutuhan mereka. Atau dapat juga
mempunyai pekerjaan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.
Pilihan mereka untuk menambah kekurangan kebutuhan tersebut adalah antara lain
pilihannya melakukan judi dan perjudian, judi menjadi alternatif yang terpaksa
dilakukan meskipun mereka tahu risikonya, untuk mencukupi kebutuhannya dan
keluarganya.
Perjudian tetap berkembang
seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, bahkan macam dan bentuk
perjudian saat ini sudah merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Perjudian banyak ditemui di berbagai tempat atau lokasi,
yang diperkirakan tidak dapat diketahui oleh pihak berwajib, bahkan tidak
jarang dilakukan dekat dengan pemukiman penduduk. Selain alasan diatas, dari
berbagai hasil penelitian lintas budaya yang telah dilakukan oleh para ahli,
diperoleh ada sekitar 5 (lima) faktor yang amat berpengaruh dalam memberikan
kontribusi terhadap perilaku berjudi. Kelima faktor tersebut adalah :
a. Faktor Sosial & Ekonomi
Bagi
masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah, perjudian seringkali
dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tidaklah
mengherankan jika pada masa masih ada undian SDSB di Indonesia pada zaman orde
baru yang lalu, peminatnya (penjudi) justru lebih banyak dari kalangan
masyarakat ekonomi rendah seperti tukang becak, buruh, atau pedagang kaki lima
dibandingkan dengan kalangan masyarakat yang bisa dikatakan kaya atau berlebih.
Dengan modal yang sangat kecil, mereka (kalangan masyarakat ekonomi rendah)
berharap mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya atau menjadi kaya dalam
sekejab tanpa usaha yang besar. Selain itu kondisi sosial masyarakat yang
menerima perilaku berjudi juga berperan besar terhadap tumbuhnya perilaku
tersebut dalam komunitas.
b. Faktor
Situasional
Situasi
yang bisa dikategorikan sebagai pemicu perilaku berjudi, diantaranya adalah
tekanan dari teman-teman atau kelompok atau lingkungan untuk berpartisipasi
dalam perjudian dan metode-metode pemasaran yang dilakukan oleh pengelola
perjudian. Tekanan kelompok membuat sang calon penjudi merasa tidak enak jika
tidak menuruti apa yang diinginkan oleh kelompoknya. Sementara metode pemasaran
yang dilakukan oleh para pengelola perjudian dengan selalu mengekspose para
penjudi yang berhasil menang memberikan kesan kepada calon penjudi bahwa
kemenangan dalam perjudian adalah suatu yang biasa, mudah dan dapat terjadi
pada siapa saja (padahal kenyataannya kemungkinan menang sangatlah kecil).
Peran media massa seperti televisi dan film yang menonjolkan keahlian para
penjudi yang "seolah-olah" dapat mengubah setiap peluang menjadi
kemenangan atau mengagung-agungkan sosok sang penjudi, telah ikut pula mendorong
individu untuk mencoba permainan judi.
c.
Faktor Belajar
Faktor belajar memiliki efek yang besar terhadap perilaku
berjudi, terutama menyangkut keinginan untuk terus berjudi. Apa yang pernah
dipelajari dan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan (positive reward) akan terus tersimpan dalam pikiran seseorang dan
sewaktu-waktu ingin diulangi lagi. Inilah yang dalam teori belajar disebut
sebagai Reinforcement Theory yang mengatakan bahwa perilaku tertentu
akan cenderung diperkuat/diulangi bilamana diikuti oleh pemberian
hadiah/sesuatu yang menyenangkan.
d. Faktor Persepsi tentang Probabilitas
Kemenangan
Persepsi
yang dimaksudkan disini adalah persepsi pelaku dalam membuat evaluasi terhadap
peluang menang yang akan diperolehnya jika ia melakukan perjudian. Para penjudi
yang sulit meninggalkan perjudian biasanya cenderung memiliki persepsi yang
keliru tentang kemungkinan untuk menang. Mereka pada umumnya merasa sangat
yakin akan kemenangan yang akan diperolehnya, meski pada kenyataannya peluang
tersebut amatlah kecil karena keyakinan yang ada hanyalah suatu ilusi yang
diperoleh dari evaluasi peluang berdasarkan sesuatu situasi atau kejadian yang
tidak menentu dan sangat subyektif. Dalam benak mereka selalu tertanam pikiran:
"kalau sekarang belum menang pasti
di kesempatan berikutnya akan menang, begitu seterusnya".
e. Faktor Persepsi terhadap Ketrampilan
Penjudi
yang merasa dirinya sangat trampil dalam salah satu atau beberapa jenis
permainan judi akan cenderung menganggap bahwa keberhasilan/kemenangan dalam
permainan judi adalah karena ketrampilan yang dimilikinya. Mereka menilai
ketrampilan yang dimiliki akan membuat mereka mampu mengendalikan berbagai
situasi untuk mencapai kemenangan (illusion of control). Mereka
seringkali tidak dapat membedakan mana kemenangan yang diperoleh karena
ketrampilan dan mana yang hanya kebetulan semata. Bagi mereka kekalahan dalam
perjudian tidak pernah dihitung sebagai kekalahan tetapi dianggap sebagai
"hampir menang", sehingga mereka terus memburu kemenangan yang
menurut mereka pasti akan didapatkan.
Selanjutnya,
untuk memahami apakah perilaku berjudi termasuk dalam perilaku yang patologis
atau tidak, maka diperlukan suatu pemahaman tentang kadar atau tingkatan
penjudi tersebut. Hal ini penting mengingat bahwa perilaku berjudi termasuk
dalam kategori perilaku yang memiliki kesamaan dengan pola perilaku adiksi (addictive disorder). Pada
dasarnya ada tiga tingkatan atau tipe penjudi, yaitu:
a.
Social Gambler
Penjudi
tingkat pertama adalah para penjudi yang masuk dalam kategori “normal” atau
seringkali disebut social
gambler, yaitu penjudi yang sekali-sekali pernah ikut membeli lottery (kupon undian),
bertaruh dalam pacuan kuda, bertaruh dalam pertandingan bola, permainan kartu
atau yang lainnya. Penjudi tipe ini pada umumnya tidak memiliki efek yang negatif
terhadap diri maupun komunitasnya, karena mereka pada umumnya masih dapat
mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Perjudian bagi mereka
dianggap sebagai pengisi waktu atau hiburan semata dan tidak mempertaruhkan
sebagian besar pendapatan mereka ke dalam perjudian. Keterlibatan mereka dalam
perjudian pun seringkali karena ingin bersosialisasi dengan teman atau
keluarga.
b.
Problem Gambler
Penjudi
tingkat kedua disebut sebagai penjudi “bermasalah” atau problem gambler, yaitu perilaku berjudi yang dapat menyebabkan
terganggunya kehidupan pribadi, keluarga maupun karir, meskipun belum ada
indikasi bahwa mereka mengalami suatu gangguan kejiwaan. Para penjudi jenis ini
seringkali melakukan perjudian sebagai cara untuk melarikan diri dari berbagai
masalah kehidupan. Penjudi bermasalah ini sebenarnya sangat berpotensi untuk
masuk ke dalam tingkatan penjudi yang paling tinggi yang disebut penjudi
patologis jika tidak segera disadari dan diambil tindakan terhadap
masalah-masalah yang sebenarnya sedang dihadapi.
c. Pathological
Gambler
Penjudi
tingkat ketiga disebut sebagai penjudi “patologi” atau pathological gambler atau compulsive
gambler. Ciri-ciri penjudi tipe ini adalah ketidakmampuannya
melepaskan diri dari dorongan-dorongan untuk berjudi. Mereka sangat terobsesi
untuk berjudi dan secara terus-menerus terjadi peningkatan frekuensi berjudi
dan jumlah taruhan, tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang
ditimbulkan oleh perilaku tersebut, baik terhadap dirinya sendiri, keluarga,
karir, hubungan sosial atau lingkungan disekitarnya. Perilaku judi patologis
adalah ketidakmampuan seseorang menahan dorongan untuk berjudi yang dapat
mengakibatkan konsekuensi pribadi atau sosial sangat berat. Seseorang yang
sedang dalam kondisi seperti ini, cenderung mengalami kesulitan untuk menolak
atau mengendalikan dorongan untuk berjudi.
Judi
patologis dapat diartikan sebagai perilaku perjudian yang bersifat kompulsif
pada diri seseorang dan perilaku perjudian yang dilakukan sudah mempengaruhi
kehidupan sehari-hari dan tidak jarang sudah membawa dampak yang kurang baik
(negatif) pada diri seseorang tersebut. Dalam DSM-IV yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Assocation (APA) menjelaskan bahwa
perilaku berjudi dapat dianggap sebagai gangguan kejiwaaan yang termasuk dalam Impulse Control Disorders,
jika perilaku berjudi tersebut sudah tergolong kompulsif. Hal ini didasarkan
atas kriteria perilaku yang cenderung dilakukan secara berulang-ulang tanpa
dapat dikendalikan, sudah mendarah daging (menetap) dan sulit untuk
ditinggalkan. Untuk itu, perilaku judi patologis dimasukkan ke dalam lima
gangguan pengendalian impuls tambahan, dimana perilaku judi patologis
dikategorikan sebagai adanya kebutuhan untuk mempertaruhkan uang dalam jumlah
yang semakin banyak dari waktu ke waktu dan timbul gejala gelisah ketika
berusaha berhenti (withdrawal).
Selanjutnya,
menurut Adapun kriteria individu yang dapat digolongkan sebagai penjudi yang
patologis menurut DSM-IV Screen (alat yang digunakan untuk mengukur tingkatan
penjudi) adalah jika individu tersebut menunjukkan 5 (lima) faktor atau lebih
dari faktor-faktor sebagai berikut:
a.
Preoccupation
Terobsesi
Dengan perjudian (contoh. sangat terobsesi
untuk mengulangi pengalaman berjudi yang pernah dirasakan dimasa lalu, sulit
mengalihkan perhatian pada hal-hal lain selain perjudian, atau secara khusuk
memikirkan cara-cara untuk memperoleh uang melalui perjudian)
b.
Tolerance
Kebutuhan untuk berjudi dengan kecenderungan
meningkatkan jumlah uang (taruhan) demi mencapai suatu kenikmatan/kepuasan yang
diinginkan.
c.
Withdrawal
Menjadi mudah gelisah dan mudah tersinggung
setiapkali mencoba untuk berhenti berjudi.
d.
Escape
Menjadikan perjudian sebagai cara untuk
melarikan diri dari berbagai masalah hidup atau perasaan yang kurang
menyenangkan (contoh: Perasaan bersalah, ketidakberdayaan, cemas, depresi,
sedih)
e.
Chasing
Setelah kalah berjudi, cenderung kembali
berjudi lagi untuk mengejar kemenangan supaya memperoleh titik impas.
f.
Lying
Berbohong kepada anggota keluarga, konselor
atau terapist atau orang lain tentang keterlibatan dirinya dalam
perjudian.
g.
Loss
of control
Selalu gagal dalam usaha mengendalikan,
mengurangi atau menghentikan perilaku berjudi.
h.
Illegal
Acts
Terlibat dalam tindakan-tindakan melanggar
hukum, seperti penipuan, pencurian, pemalsuan, dsb, demi menunjang biaya
finansial untuk berjudi.
i.
Risked
significant relationship
Membahayakan atau menyebabkan rusaknya
hubungan persahabatan dengan orang-orang yang sangat berperan dalam kehidupan,
hilangnya pekerjaan, putus sekolah atau keluarga menjadi berantakan, atau
kesempatan berkarir menjadi hilang.
j.
Bailout
Mengandalkan orang lain untuk memberikan uang
kepada dirinya ataupun keluarganya dalam rangka mengurangi beban finansial
akibat perjudian yang dilakukan.
Menurut pandangan teori-teori yang dalam ilmu
psikologi, ada beberapa penyebab yang menjadikan seseorang bisa menjadi penjudi
patologis, diantaranya adalah :
a.
Pandangan
psikoanalisa
Berdasarkan
pandangan para ahli psikoanalisa yang salah satu sudut pandangnya sangat
menekankan pada adanya id, ego dan super ego, lebih menjelaskan bahwa adanya
perilaku judi patologis lebih disebabkan karena adanya dorongan id (yang selalu
menuntut dipuaskan) dari dalam diri seseorang (penjudi) tanpa melihat ego
(kenyataan) yang ada pada dirinya serta tidak memperdulikan superego (aturan,
norma maupun larangan) yang mencoba menghalanginya untuk melakukan tindakan
atau perilaku berjudinya.
b.
Pandangan
behavioristik
Berdasarkan
pandangan behavioristik, munculnya perilaku judi patologis pada seseorang lebih
menekankan pada adanya perilaku itu sendiri, maksud dari perilaku itu sendiri
adalah bahwa ketika seseorang melakukan perjudian dan seseorang tersebut mampu
mendapatkan keuntungan yang diperoleh jika memenangkan perjudian (positif reward) maka dapat dipastikan
bahwa perilaku judi pada seseorang tersebut akan cenderung menguat. Hal ini
disebabkan karena dengan adanya kemenangan yang diperoleh maka secara otomatis
seseorang tersebut akan mendapatkan kepuasan dari perilaku yang telah dilakukan
serta semakin lama akan semakin intens (sering) melakukannya.
c.
Pandangan
Humanistik
Menurut pandangan humanistik adanya perilaku
judi patologis lebih menekankan akan adanya kebutuhan – kebutuhan yang ada pada
diri seseorang, dimana kebutuhan tersebut senantiasa harus dipenuhi, mulai dari
kebutuhan yang bersifat fisiologis, sampai kebutuhan akan aktualisasi diri
(teori Maslow). Pada dasarnya seorang penjudi melakukan perjudian demi memenuhi
kebutuhan tingkat fisiologisnya (kebutuhan dasar), namun ada beberapa yang menjadikan
perjudian sebagai lambang aktualisasi diri, terutama yang dilakukan oleh
orang-orang yang bisa dikatakan mampu dan memiliki banyak kelebihan dalam hal
materi.
d.
Pandangan
Cognitive Behavior
Menurut pandangan Cognitive Behavior, perilaku judi patologis lebih diartikan sebagai
perilaku yang abnormal. Hal ini disebabkan karena dalam diri seseorang yang
berjudi (judi patologis) cenderung memiliki konsep atau pemikiran yang
irrasional pada dirinya sehingga menyebabkan seseorang tersebut bertingkah laku
yang maladaptive (judi patologis). Seorang penjudi memiliki pemikiran-pemikiran
bahwa dengan berjudi maka dirinya bisa mendapatkan kekayaan dan keuntungan yang
berlipat ganda dalam waktu yang singkat atau cepat.
Pada dasarnya ketika seseorang sudah
mengalami judi patologis, orang tersebut masih bisa untuk melakukan perubahan
atau pengobatan pada dirinya dengan harapan bahwa perilakunya tersebut akan
berkurang. Berdasarkan pengalaman, pengobatan untuk orang dengan penyakit judi
patologis dimulai dengan mengenali masalah terlebih dahulu sehingga dapat
diketahui akan akar permasalan dan mampu menemukan celah dan cara untuk merubah
atau mengobatinya. Pada umumnya seseorang yang mengalami judi patologi akan
senantiasa melakukan penyangkalan atau penolakan bahwa dirinya sedang menderita
penyakit tersebut. Untuk itu sangat dibutuhkan adanya dukungan dari semua pihak
(keluarga, rekan, masyarakat) untuk bisa membantu menyadarkannya sehingga
seseorang tersebut mengetahuinya dan pada akhirnya menjadi sadar atas apa yang
telah dilakukannya selama ini (konseling).
Selain itu, ada beberapa hal yang harus
benar-benar diperhatikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia ini, berkaitan
dengan adanya perilaku perjudian ini, diantaranya adalah :
- Mengingat bahwa perjudian amat sulit untuk diberantas, maka hal pertama yg perlu diperhatikan untuk melindungi anggota keluarga agar tidak terlibat dalam perjudian adalah melalui penanaman nilai-nilai luhur di mulai dari keluarga, selaku komunitas terkecil dalam masyarakat. Kalau orang tua dapat menanamkan nilai-nilai luhur pada anak-anak sejak usia dini maka anak akan memiliki kontrol diri dan kontrol sosial yang kuat dalam kehidupannya, sehingga mampu memilih alternatif terbaik yang berguna bagi dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Penanaman nilai-nilai bukan hanya sekedar dilakukan dengan kata-kata tetapi juga lebih penting lagi melalui keteladanan dari orangtua.
- Mengingat pula bahwa perilaku berjudi sangat erat kaitannya dengan pola pikir seseorang dalam memilih suatu alternatif, maka sangatlah perlu bagi orangtua, pendidik dan para alim ulama untuk mengajarkan pola pikir rasional. Pola pikir rasional yang saya maksudkan adalah mengajarkan seseorang untuk melihat segala sesuatu dari berbagai segi, sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak alternatif yang ditawarkan. Dengan memiliki kemampuan berpikir rasional seseorang tidak akan dengan mudah untuk mengambil jalan pintas.